28 Januari 2008

Tarutung-Siopat Pusoran

Daerah Tarutung yang menjadi ibukota Tapanuli Utara dahulu merupakan wilayah Silindung. Sebuah wilayah yang dihuni oleh marga Pasaribu. Kumpulan marga-marga yang serumpun dengan Pasaribu disebut Siopat Pusoran.
Mereka itu adalah Matondang, Tarihoran, Bonda dan Habeahan. Namun entah kenapa pada masa sekarang berdasarkan rapat Pasaribu Saruksuk mereka yang disebut Opat Pusoran tersebut adalah Habeahan, Bondar, Gorat dan Saruksuk.

Kota Tarutung sendiri mulai dikenal saat marga Hasibuan mulai datang dan menikah dengan boru Pasaribu yaitu Guru Mangaloksa Hasibuan.


Setelah itu GM Hasibuan mempunyai anak-anak yaitu Si Raja Nabarat (Hutabarat), Si Raja Gabe (Panggabean), Si Raja Galung (Hutagalung), Si Raja Toruan (Hutatoruan). Berafiliasi menjadi Hutabarat, Panggabean anak-anaknya Panggabean dan Simorangkir, Hutagalung, Hutatoruan anak-anaknya Hutapea dan Lumbantobing.

Dominasi komunitas muslim marga Hutagalung dalam bidang ekonomi di Tanah Batak terjadi antara 1513-1818 M. Mesjid pertama di Silindung didirikan oleh marga Hutagalung pada abad 14. Komunitas muslim ini dengan karavan-karavan kuda menjadi komunitas pedagang penting yang menghubungkan Silindung, Humbang Hasundutan dan Pahae. Pada abad ke-16 ini marga Hutagalung mendirikan mesjid lokal kedua di Silindung.

Marga Hutagalung ini juga yang diyakini pertama sekali membangun pelabuhan maritim di Sibolga yang menjadi cikal bakal kota Sibolga sekarang. Secara umum kalangan Siopat Pusoran, menguasai daerah Silindung sampai pesisir Sumatare Utara. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu merupakan tokoh pimpinan kesultanan Barus Raya (Hilir) dari rumpun marga ini.

Dalam politik ekonomi, Kelompok Siopat Pusoran selalu berlawanan secara politik di era dinasti Sisingamangaraja. Alasannya adalah kompetisi dalam penguasaan jalur ekonomi dari dan ke tanah Batak. Persaingan itu terus berlanjut sampai zaman penjajahan Belanda dimana Raja Huta, Pontas Lumbantobing dari Saitnihuta, Silindung, menjadi antipode dari Sisingamangaraja XII, maharaja di wilayah huta-huta Batak, dan menjadi pihak pendukung Belanda.

Dimasa sekarang, Keturunan Siopat Pusoran banyak yang berhasil dan menjadi
tokoh penting di Indonesia. Contohnya, Jenderal M. Panggabean dan F.L Tobing serta masih banyak lagi yang menjadi konglomerat dan bupati/walikota di Sumatera Utara.

Menurut wikipedia: Hutagalung adalah salah satu marga dari suku batak, termasuk golongan batak toba. Hutagalung merupakan salah satu anak dari Hasibuan, memiliki 3 saudara, yaitu Tobing, Hutabarat, dan Panggabean. Keturunan marga Hutagalung dilarang menikah dengan sesama marga Hutagalung dan dengan marga Hasibuan.

Kelompok Marga Hutagalung di Tarutung merupakan elemen pertama Batak melakukan kontak dengan dunia luar di pesisir barat Sumatera. Mereka menjadi penghubung antara masyarakat pedalaman Batak dan dunia internasional karena profesi mereka yang pedagang.

Di Tarutung, mereka membangun mesjid pertama pada abad-14 dan beberapa mesjid berikutnya namun semuanya dihancurkan oleh penjajah Belanda pada abad ke-19. Keturunan Hutagalung, khususnyanya yang muslim dibasmi oleh Belanda dari Silindung.

Daerah lain di Tarutung adalah Sipoholon yang dihuni marga turunan Naipospos seperti Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun dll

TELUK TAPIAN NAULI


Tidak dapat diketahui secara pasti sejak kapan bumi Teluk Tapian Nauli mulai dihuni orang. Namun berdasarkan sejumlah catatan sejarah, diperkirakan sejak tahun 1500 sudah terjadi hubungan dagang antara para penghuni Teluk Tapian Nauli dengan dunia luar yang paling jauh yakni negeri orang-orang Gujarat dan pendatang dari negeri asing lain seperti Mesir, Siam, Tiongkok. Para golongan terkemuka Tapian Nauli juga sudah dikenal di Mesopotamia, paling tidak melalui sejarah lisan yang dibawa saudagar Arab.
Tercatat pula bahwa pada tahun 1500 itu pelaut Portugis sudah hilir mudik di lautan dalam rangka mencari dan mengumpulkan rempah-rempah untuk dibawa ke Eropa. Uang Portugis yang beredar di kalangan masyarakat yang berdiam di Teluk Tapian Nauli saat itu merupakan salah satu bukti. Ketika itu keberadaan Teluk Tapian Nauli sangat penting. Selain sebagai pangkalan pengambilan garam, dusun ini terkenal juga sebagai pangkalan persinggahan perahu-perahu mancanegara guna mengambil air untuk keperluan pelayaran jauh.

Peranan Teluk Tapian Nauli sebagai pangkalan persinggahan dan pelabuhan dagang semakin dikukuhkan ketika Belanda dan Inggris memasuki wilayah itu di kemudian hari. Kapal Belanda di bawah pimpinan Gerard De Roij datang kepantai Barat Sumatera—Teluk Tapian Nauli—pada 1601. Sedangkan Inggris memasuki wilayah ini pada 1755.
Kehadiran dan gerak langkah Belanda dan Inggris di Teluk Tapian Nauli bisa dilihat dari beberapa kronologi peristiwa berikut ini:
1604 : Perjanjian antara Aceh dengan Belanda, yaitu antara Sultan Iskandar dengan Oliver.
1632 : Kapal Belanda mulai berhadapan dengan Inggris di Pantai Barat Sumatera dalam rangka kepentingan dagang.
1667 : Belanda mendirikan benteng (loji) di Padang.
1668 : Belanda mulai dengan politik adu domba, menghasut Tiku dan Pariaman lepas dari Aceh. Barus pro Pagaruyung diusir dari berbagai tempat.
1669 : Setelah berkuasa di Sumatera Barat, Belanda mulai mengincar pesisir Tapanuli dan mendirikan loji di Barus.
1670 : Karena keserakahan Belanda (VOC) dengan praktek dagangnya yang monopolistis, pemberontakan di Barus terhadap Belanda tidak dapat dielakkan dan terus meningkat. Raja Barus dibantu oleh adiknya Lela Wangsa berhasil mengusir Belanda dan menghancurkan loji Belanda.
1678 : Belanda dapat membalas, namun pada ketika itu perang sengit antara Raja Barus dengan Belanda terus berkobar. Raja Barus melakukan taktik gerilya. Putera raja di Hulu berhasil membuhuh dokter Belanda dan seorang serdadu Belanda. Namun Belanda berhasil menangkap Raja I^ela Wangsa dan membuangnya ke Afrika Selatan.
1733 : Belanda semakin merajalela dengan berhasilnya menangkap Raja Barus. Seterusnya bukan hanya Barus saja yang diserang, tapi Belanda juga menyerang Sorkam. Kolang dan Sibolga.
1734 : Oleh karena Belanda telah melakukan penyerangan terhadap Raja-Raja yang ada di Teluk Tapian Nauli, maka Raja-Raja yang ada di Teluk Tapian Nauli mengkonsolidasikan diri, maka lahun ini terjadilah peperangan secara besar-besaran terhadap Belanda. Serangan datang dari Sibolga, Kolang, Sorkam dan Barus dipelopori anak Yang Dipertuan Agung Pagaruyung.
1735 : Belanda terkejut dan kewalahan menghadapi peperangan ini. Belanda melakukan penelitian, dan ternyata diketahui bahwa semangat patriotisme yang dikobarkan dari Raja Sibolga itulah sumber kekuatan. Belanda ingin melampiaskan rasa penasarannya kepada Raja Sibolga, namun tidak berhasil, Antara 1755-1815 pesisir Pantai Barat Sumatera Utara, Teluk Tapian Nauli, berada di bawah pengaruh Inggris. Pada 1755 Inggris memasuki Tapian Nauli dan membuat benteng di Bukit Pulau Poncan Ketek (Kecil). Mereka mulai menguasai loji-loji Belanda dan markas Aceh yang berada di pesisir Barat Tapanuli.
1758 : Pasukan Inggris mulai mengusir loji-loji Belanda dan juga markas Aceh dari pesisir barat Tapanuli. Silih berganti usir-mengusir antara Inggris dengan Belanda.
1761 : Perancis meninggalkan Poncan. Kemudian Inggris datang bekerjasama dengan penduduk Tapian Nauli dan Sibolga.
1770 : Karena suasana perdagangan mulai tenang, maka Inggris mendatangkan budak dari Afrika dan India untuk mengerjakan urusan dagang dan perkebunan Inggris. Kuria Tapian Nauli dan Raja Sibolga merasa keberatan atas tindak tanduk Inggris ini.
1771 : Stains East Indian Company Inggris di Tapanuli dinaikkan menjadi "Residency Tappanooly".
1775 : Karena dagang Inggris mulai menurun karena tidak mendapat simpati dari Kuria Tapian Nauli dan Raja Sibolga, maka Belanda mengambil kesempatan mengadakan perjanjian dagang dengan Kuria Tapian Nauli dan Raja Sibolga.
1780 : Puncak perselisihan antara Belanda dengan Inggris adalah persoalan monopoli garam. Kesempatan ini dipergunakan oleh Aceh untuk menyerang Inggris di Teluk Tapian Nauli. Aceh untuk sementara dapat menduduki Teluk Tapian Nauli, akan tetapi Inggris meminta bantuan dari Natal dan Inggris kembali menduduki Tapian Nauli (Poncan Ketek).
1786 : Aceh kembali menyerang Inggris di Tapian Nauli. Serangan ini tidak berhasil karena Inggris meminta bantuan ke Natal.
1801 : Jhon Prince ditetapkan menjadi Residen Tapanuli berkedudukan di Poncan Ketek. Sejak saat itu Poncan Ketek mulai ramai didatangi oleh orang Cina, India, dan lain-lain.
1815 : Residen Jhon Prince mengadakan kontrak perjanjian dengan Raja-Raja sekitar Teluk Tapian Nauli, termasuk Raja Sibolga. Perjanjian ini disebut "Perjanjian Poncan" atau "Perjanjian Batigo Badusanak".
1825 : Inggris menyerahkan Poncan kepada Belanda, sebagai realisasi Traktat London 17-3-1824.
1850 : Belanda mulai menata pemukiman di Sibolga dengan menimbun rawa-rawa dan membuat parit-parit.
1851 : Pengukuhan Adat Pusaka di Teluk Tapian Nauli dan sekitarnya oleh Residen Tapanuli Conprus.

26 Januari 2008

Dalihan Natolu Sumber Hukum Adat Batak

Pengertian Dalihan Natolu secara letterlijk adalah satuan tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu. Pada zamannya, kebiasaan masyarakat Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itu, dalam bahasa Batak disebut dalihan. Falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak.
Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas dalihan natolu, kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk mensejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa Batak, benda itu disebut Sihal-sihal. Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak.
Ompunta naparjolo martungkot salagunde. Adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihut on ni na parpudi. Umpasa itu sangat relevan dengan falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal sebagai sumber hukum adat Batak.


Apakah yang disebut dengan dalihan natolu paopat sihal-sihal itu ? dari umpasa di atas, dapat disebutkan bahwa dalihan natolu itu diuraikan sebagai berikut :
Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Angka na so somba marhula-hula siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu, natajom ma adopanna, jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna.
Itulah tiga falsafah hukum adat Batak yang cukup adil yang akan menjadi pedoman dalam kehidupan sosial yang hidup dalam tatanan adat sejak lahir sampai meninggal dunia.

Somba marhula-hula

Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak.
Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki. Sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige. (artinya, dalam budaya Batak tuak merupakan minuman khas. Tuak diambil dari pohon Bagot (enau). Sumber tuak di pohon Bagot berada pada mayang muda yang di agat. Untuk sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang disebut Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat). Itulah sebabnya, Bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi adat.
Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya.
Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain :
Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.
Disebutkan, Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na. Gadong dalam masyarakat Batak dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo).
Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan busuk dan isisnya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah.

Dalam adat Batak, pihak borulah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak mnghormati hula-hula (baca elek marboru)

Dalam budaya Batak, ada umpasa Litok aek ditoruan, tujulu ni jalanan. Hal ini terjadi apabila dalam suatu keluarga terdapat penderitaan atau kesusahan hidup. Ada pemikiran, semasa hidup pendahulu dari generasi yang sengsara atau menderita itu ada sikap-sikap yang tidak menghormati hula-hula, sehingga pernyataan siraraon do gadongna dianggap menjadi bala dalam kehidupannya. Untuk menghilangkan bala itu, diadakanlah upacara adat mamboan sipanganon untuk memohon ampun apabila ada kesalahan-kesalahan generasi terdahulu kepada pihak hula-hula. Upacara mamboan sipanganon disampaikan kepada keturunan pihak hula-hula setaraf generasi terdahulu atau tingkat yang dianggap pernah terjadi kesalahan itu.

Dalam berbagai agama, ibu sangat diagungkan. Bahkan ada ungkapan sorga ada ditelapak kaki ibu. Dalam agama Kristen, hukum Taurat ke V menyebutkan, hormatilah ibu-bapamu agar lanjut usiamu, dst. Tidaklah bertentangan bila falsafah dalihan na tolu somba marhula-hula diterapkan. Karena kita menghormati keluarga ibu yang kita cintai itu. Dalam agama Kristen disebutkan, kalau menghormati orang tua, akan mendapat berkat dan lanjut usia.

Sebagaimana diuraikan dalam edisi nomor 12 lalu, Falsafah Dalihan Natolu Paopat Sihal-sihal sebagai sumber hukum adat Batak terdiri dari Somba Marhula-hula, Manat Mardongan tubu dan Elek Marboru. Somba Marhula-hula sudah diuraikan pada edisi tersebut.

Manat Mardongan Tubu.
Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Misalnya Si Raja GURU MANGALOKSA menjadi Hutabarat, Hutagalung, Panggabean, dan Hutatoruan (Tobing dan Hutapea). Atau Toga Sihombing yakni Lumbantoruan, Silaban, Nababan dan Hutasoit. Dongan Tubu dalam adat Batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kawin
Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah.
Angka naso manta mardongan tubu, na tajom ma adopanna. Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik .
Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kawin atau kematian) namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan.

Apabila dalam suatu adat Batak terdapat pelecehan atau sikap meremehkan teman semarganya, biasanya akan berakhir dengan perdebatan sengit bahkan pada perkelahian. Hal itu dapat dipahami, karena suatu keluarga yang bersaudara antara abang dan adik tidak terdapat batas-batas. Bahkan karena diikat oleh kasih sayang, dalam adat Batak , namardongan tubu dapat selalu memanggil nama, khususnya kepada tingkat di bawahnya. Misalnya panggilan "ho", "langkam", "amani aha", dll panggilan yang sangat akrab.
Namun harus diingat, dalam keakraban itulah terdapat peluang-peluang sakit hati yang menimbulkan pertikaian atau perkelahian. Hal ini dapat terjadi pada tonggo raja (perencanaan acara puncak adat) yang tidak menempatkan posisi dongan tubu sesuai dengan kepentingan adat.
Dalam kasus lain, manta mardongan tubu sangat perlu diingat dalam masalah harta warisan atau masalah kepemilikan. Karena dalam kenyataannya, masalah warisanlah penyebab terbesar pertikaian di kalangan namardongan tubu. Hal itu terbukti pula dalam persidangan-persidangan pengadilan negeri di Bona Pasogit yang bertikai akibat harta warisan (terutama tanah) sering membawa korban jiwa.
Pertikaian akibat harta warisan antara boru ke hula-hula sangat jarang sekali. Dalam ungkapan (umpasa) batak ada istilah jolo diseat hata asa di seat raut. Artinya, sebaiknya segala sesuatu itu dimusyawarahkan dulu sebaik-baiknya, barulah dilaksanakan. Umunya umpasa itu disampaikan dalam rangka pembagian jambar, yang diatur oleh pihak-pihak namardongan tubu. Itulah sebabnya ada ungkapan marpanungkun (konsultasi).
Patutak Pande Bosi, soban bulu panggorgorina. Marpukpak angka na marhahamaranggi (na mardongan tubu) angka boru ma pangolanina. Pandai Besi (pande bosi) biasanya dalam membentuk tempahannya sangat riuh bunyi peralayannya. Namun untuk menjadikan tempahan itu, harus ada kayu atau arang yang membakarnya supaya jadi baik. Demikian diumpamakan, kalau pihak hula-hula namardongan tubu bertikai karena sesuatu hal, agar tercapai kebaikan, pihak boru berperan sebagai penengah, bukan terlihat dalam pertikaian itu.

SI OPAT PUSORAN

Daerah Tarutung yang menjadi ibukota Tapanuli Utara dahulu merupakan wilayah Silindung. Sebuah wilayah yang dihuni oleh marga Pasaribu. Kumpulan marga-marga yang serumpun dengan Pasaribu disebut Siopat Pusoran.

Mereka itu adalah Matondang, Tarihoran, Bonda dan Habeahan. Namun entah kenapa pada masa sekarang berdasarkan rapat Pasaribu Saruksuk mereka yang disebut Opat Pusoran tersebut adalah Habeahan, Bondar, Gorat dan Saruksuk.

Kota Tarutung sendiri mulai dikenal saat marga Hasibuan mulai datang dan menikah dengan boru Pasaribu yaitu Guru Mangaloksa Hasibuan.

Setelah itu GM Hasibuan mempunyai anak-anak yaitu Si Raja Nabarat (Hutabarat), Si Raja Gabe (Panggabean), Si Raja Galung (Hutagalung), Si Raja Toruan (Hutatoruan). Berafiliasi menjadi Hutabarat, Panggabean anak-anaknya Panggabean dan Simorangkir, Hutagalung, Hutatoruan anak-anaknya Hutapea dan Lumbantobing.

Dominasi komunitas muslim marga Hutagalung dalam bidang ekonomi di Tanah Batak terjadi antara 1513-1818 M. Mesjid pertama di Silindung didirikan oleh marga Hutagalung pada abad 14. Komunitas muslim ini dengan karavan-karavan kuda menjadi komunitas pedagang penting yang menghubungkan Silindung, Humbang Hasundutan dan Pahae. Pada abad ke-16 ini marga Hutagalung mendirikan mesjid lokal kedua di Silindung.

Marga Hutagalung ini juga yang diyakini pertama sekali membangun pelabuhan maritim di Sibolga yang menjadi cikal bakal kota Sibolga sekarang. Secara umum kalangan Siopat Pusoran, menguasai daerah Silindung sampai pesisir Sumatare Utara. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu merupakan tokoh pimpinan kesultanan Barus Raya (Hilir) dari rumpun marga ini.

Dalam politik ekonomi, Kelompok Siopat Pusoran selalu berlawanan secara politik di era dinasti Sisingamangaraja. Alasannya adalah kompetisi dalam penguasaan jalur ekonomi dari dan ke tanah Batak. Persaingan itu terus berlanjut sampai zaman penjajahan Belanda dimana Raja Huta, Pontas Lumbantobing dari Saitnihuta, Silindung, menjadi antipode dari Sisingamangaraja XII, maharaja di wilayah huta-huta Batak, dan menjadi pihak pendukung Belanda.

Dimasa sekarang, Keturunan Siopat Pusoran banyak yang berhasil dan menjadi tokoh penting di Indonesia. Contohnya, Jenderal M. Panggabean dan F.L Tobing serta masih banyak lagi yang menjadi konglomerat dan bupati/walikota di Sumatera Utara.

Menurut wikipedia: Hutagalung adalah salah satu marga dari suku batak, termasuk golongan batak toba. Hutagalung merupakan salah satu anak dari Hasibuan, memiliki 3 saudara, yaitu Tobing, Hutabarat, dan Panggabean. Keturunan marga Hutagalung dilarang menikah dengan sesama marga Hutagalung dan dengan marga Hasibuan.

Kelompok Marga Hutagalung di Tarutung merupakan elemen pertama Batak melakukan kontak dengan dunia luar di pesisir barat Sumatera. Mereka menjadi penghubung antara masyarakat pedalaman Batak dan dunia internasional karena profesi mereka yang pedagang.

Di Tarutung, mereka membangun mesjid pertama pada abad-14 dan beberapa mesjid berikutnya namun semuanya dihancurkan oleh penjajah Belanda pada abad ke-19. Keturunan Hutagalung, khususnyanya yang muslim dibasmi oleh Belanda dari Silindung.

Daerah lain di Tarutung adalah Sipoholon yang dihuni marga turunan Naipospos seperti Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun dll

MARGA BATAK

Orang Batak mempunyai nama marga/keluarga yang biasanya dicantumkan di-akhir namanya. Nama marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus menerus.
Menurut kepercayaan masyarakat Batak Toba, Induk Marga Batak dimulai dari Si Raja Batak yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putra yakni Guru Tatean Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatean Bulan sendiri mempunyai 4 (empat) orang putra yakni Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja. Sementara Si Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang.
Sedangkan suku batak lainnya mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang asal muasal suku batak. Masyarakat Batak yang tinggal di kawasan sebelah Selatan dari Provinsi Sumatra Utara, Mandailing dan Angkola, kurang sepaham dengan ragam pendapat tentang budaya Batak yang biasanya dianut dan diyakini (bersumber) dari masyarakat Batak yang tinggal di kawasan Utara dan Tengah dari Provinsi Sumatra Utara.
Masyarakat Batak (Mandailing dan Angkola), dominan menganut agama Islam, sehingga menolak mengakui asal-usul Batak dari Si Raja Batak. Pengakuan tentang Si Raja Batak tidak memiliki indikator atau bukti-bukti yang sah. Karena, keberadaan kerajaan sebagai wilayah pemerintahan tidak jelas hingga sekarang. Di Sumatra Utara, peninggalan-peninggalan sejarah kerajaan justru sangat kuat diwariskan oleh pengaruh Melayu (Islam)
Logikanya, bagaimana Si Raja Batak dapat menjadi asal mula orang Batak? Pertanyaan ini masih perlu dijawab para antropolog.
Dari keturunan (pinompar) mereka inilah kemudian bermunculan berbagai macam marga yang saking banyaknya sampai sekarang belum bisa dipastikan jumlahnya.

Tidak ada pengklasifikasian tertentu atas jenis-jenis marga ini namun biasanya sering disangkutpautkan dengan rumpunnya sebagaimana Bahasa Batak. Misalnya Nasution adalah marga Batak Mandailing, Hutasuhut adalah marga Batak Angkola, Silaban adalah marga Batak Toba, Purba adalah marga Batak Simalungun, Ginting adalah marga Batak Karo, dan seterusnya.

Semua marga ini dapat dilihat kedudukan dari Si Raja Batak di